Berbicara mengenai manfaat hutan bagi kehidupan manusia, hutan Indonesia telah berfungsi sebagai sumber kehidupan manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Jika kita melihatnya sejak era kemerdekaan, pada awal kemerdekaan, 1945 – 1950, hutan Indonesia berfungsi sebagai basis pertahanan para pejuang sekaligus sebagai sumber penyediaan makanan. Pemanfaatan hutan secara ekonomis belum berkembang, jikapun ada masih terbatas untuk keperluan lokal dan aspek kelestarian, walaupun tanpa perencanaan yang mantap, terlaksana dengan baik dengan kearifan masyarakat tradisional untuk melaksanakan asas kelestarian yang telah mereka miliki secara turun temurun. Dr. Ir. Bun M. Purnama, M.Sc. Sekjen Departemen Kehutanan mengatakan, setelah terjadinya suksesi kepemimpinan ke SBY-JK angin menggembirakan pun berhembus. Dikatakan Purnama, dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah: Pro poor, pro job, dan pro growth, maka diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan pembangunan hutan dan pengembangan sektor riil kehutanan, dengan tujuan untuk menyerap tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Kegiatan tersebut antara lain melalui program GERHAN, Social Forestry, Hutan Rakyat, pembangunan Hutan Tanaman Rakyat, dan terakhir Hutan Desa. Di samping itu dilakukan pula upaya perbaikan kelembagaan (pengembangan SDM dan organisasi, peraturan perundangan), serta penegakan hukum dengan cara peningkatan kerjasama dengan aparat keamanan dan berbagai pihak lainnya di dalam dan di luar negeri. Meskipun ada secercah harapan, namun faktanya baru-baru ini kita diganjar prestasi dari Guiness Book of Record yang menetapkan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara tahun 2000-2005, yakni dengan 1,87 hektar atau 2% setiap tahun atau 51 km2, atau setara 300 lapangan sepakbola setiap jamnya. Lebih lanjut Agus mengutarakan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada Maret 2006 sebesar 39,05 juta (17,75%). Bila dibandingkan dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97%), berarti jumlah penduduk miskin yang ada di negeri ini meningkat sebesar 3,95 juta jiwa dan pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa (BPS, 2007). Pada tahun 2007, angka pengangguran terbuka diperkirakan bertambah 12,6 juta jiwa. Dengan demikian jumlah penduduk miskin diperkirakan mencapai 45,7 juta jiwa. Konsekuensi logis dari kebijakan pemanfaatan hutan produksi yang lestari tersebut, diperlukan adanya peningkatan peran serta pelbagai pihak, kesiapan SDM yang profesional dan terencana di seluruh lini, meliputi unsur Pemerintah, pelaku suaha, dan LSM/NGO. Sebagai konsekuensi dari penerapan sertifikasi mandatori, maka Pemerintah sedang mempersiapkan Tenaga Teknis (Ganis) dan Pengawas tenaga Tekni (Waganis) dan penegmbangan SDM melalui LSP. Sedangkan pelaku usaha dituntut untuk memiliki tenaga profesional dan organisasi perusahan ahrus akuntabel dan trasparan. Sebagai pengawas pembangunan, LSM/NGO juga dituntut untuk memiliki tenaga profesional. Perguruan tinggi pun bisa berperan dalam menciptkaan rimbawan profesional, sebagai mentor pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan berdasarkan pengalaman lapangan, dan sebagai watch dog pelaksanaan pengelolaan sumber daya hutan melalui proses interaktif.