Kami siap melayani pembelian jenis bibit tanaman kehutanan seperti mindi, gmelina, jati, sengon, treambesi, dan lainnya. Anda dapat langsung menghubungi sekretariat LMDH Sumber Makmur Desa Sumberanyar Kec. Banyuputih Kab. Situbondo ataupun kontak langsung ke HP 085236822242 (Muhammad Bakri-Ketua LMDH)

rss

Hutan dan Pemanasan Global

Menjelang diselenggarakannya Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change, 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali, kampanye berita kerusakan hutan terus meningkat. Rusaknya hutan diklaim seakan sebagai penyebab utama pemanasan global. Selalu diberitakan kebakaran hutan dan gambut yang ikut meningkatkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan melelehnya es di Green- land dan Antartika.

Ada yang tidak adil dalam kasus ini. Kemampuan serap alami hutan terhadap kandungan karbon di udara dan pengendalian kenaikan suhu ataupun peredaman gas rumah kaca (GRK) hampir tidak ditonjolkan. Peran hutan yang sebenarnya diandalkan untuk menetralisasi buangan karbon dari negara industri maju seakan disembunyikan.

Yang muncul justru sikap negara maju yang terus menyalahkan negara berkembang, khususnya Indonesia, karena dianggap lalai menjaga kelestarian hutannya. Bahkan tekanan dan hambatan dalam ekspor hasil-hasil hutan juga dihubungkan dengan meningkatnya pemanasan global tersebut yang notabene mayoritas dibuat oleh mereka sendiri.

Bila dicermati, penyebab utama terjadinya kejenuhan emisi karbon itu ternyata ada empat. Satu, kelistrikan yang menyumbang 42 persen; dua, transportasi menyumbang 24 persen; tiga, industri menyumbang sebesar 20 persen; dan sisanya empat, kependudukan serta penggunaan barang-barang komersial menyumbang 14 persen bagi emisi global. Hutan yang rusak sekalipun bukan penyebab utama emisi karbon.

Kerusakan hutan Indonesia

Permasalahannya, sebagian terbesar hutan dunia kini dinilai telah rusak. Meskipun negara maju di Eropa dan Amerika Serikat sebagai pengemisi karbon terbesar dunia justru telah lama kehilangan hutannya, mata dunia hanya tertuju kepada hutan negara berkembang yang dijadikan tumpuan menyerap karbon buangan negara maju. Kerusakan hutan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dipaksa ikut mempertanggungjawabkan meningkatnya pemanasan global.

Harus diakui bahwa Indonesia memang sempat mengalami deforestasi yang cukup besar. Terjadi deforestasi seluas 300.000 hektar per tahun (1970-an), meningkat menjadi 600.000 hektar per tahun (1981), dan menjadi 1 juta hektar per tahun pada tahun 1990. Data deforestasi nasional tahun 1985-1997, tidak termasuk Papua, tercatat seluas rata-rata 1,6 juta hektar per tahun.

Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar per tahun untuk lima pulau besar, termasuk Maluku dan Papua. Berdasarkan data terbaru, deforestasi tahun 2001-2003 turun menjadi di bawah 1,5 juta hektar per tahun.

Perkembangan tutupan hutan khususnya di Pulau Jawa, baik di kawasan hutan negara maupun yang dilakukan rakyat di tanah milik, justru menggembirakan. Dari kawasan hutan seluas 2,426 juta hektar Pulau Jawa-Madura yang dikuasakan kepada Perum Perhutani, antara tahun 2000 dan tahun 2003 terjadi peningkatan luas tutupan hutannya.

Di kawasan hutan terjadi peningkatan tutupan hutan sebesar 2,2 persen atau seluas 69.520 hektar. Peningkatan itu di antaranya di kawasan hutan lindung meningkat 0,5 persen dan di hutan produksi sebesar 1,6 persen. Di lahan masyarakat terjadi peningkatan luas lahan berhutan sebesar 3,2 persen atau seluas 328.806 hektar. Hal ini menunjukkan perkembangan hutan rakyat yang cukup pesat selama kurun waktu tersebut.

Pencanganan Perhutani Hijau 2010 oleh Perum Perhutani pun berdampak besar. Dengan hanya menebang tidak lebih dari 6.000 hektar, Perum Perhutani menanam sekitar 121.000 hektar pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 akan dilakukan penanaman seluas 201.500 hektar. Sebelum tahun 2010, kawasan hutan Jawa yang dikelola Perum Perhutani akan bebas tanah kosong.

Kenaikan suhu udara

Emisi karbon sampai dengan tahun 2000-an yang meningkat menjadi sekitar 6,5 miliar ton hanya dalam waktu setengah abad menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celsius setiap dekade. Akibat lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pencairan es di kutub yang menciutkan lautan es Artik seluas 2,7 persen per dekade, meningkatnya tinggi muka air laut 0,5 milimeter per tahun, dan badai yang sering kali kita rasakan.

Negara maju, khususnya Amerika Serikat, telah menyumbang 24 persen emisi global, diikuti China 14 persen, Rusia 6 persen, dan negara industri raksasa Jepang serta India menyumbang 5 persen. Meskipun tiga perempat (75 persen) dari emisi karbon disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi hutan terutama disebabkan oleh penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perubahan fungsi lahan hutan tetap dianggap memperparah terjadinya emisi karbon dunia.

Protokol Kyoto yang dilahirkan tahun 1997 menyepakati adanya enam senyawa GRK telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004. Negara ekonomi maju yang masuk dalam daftar lampiran 1 dan lampiran B, menurut Konvensi Perubahan Iklim tahun 1990, berkewajiban mengurangi emisi GRK sampai angka tertentu sampai tahun 2012 serta membantu negara kehutanan di luar lampiran itu untuk membiayai/melaksanakan proyek yang akan menurunkan efek GRK.

Negara maju penghasil emisi karbon terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atas upaya penyelamatan hutan di negara berkembang dengan mekanisme pola clean development mechanism (CDM).

Indonesia sendiri sebagai negara kelima terbesar yang berpotensi melakukan 10 persen suplai carbon credit dunia diperkirakan memiliki potensi CDM di sektor energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga 1,83 dollar AS per ton. Adapun dari kegiatan penghijauan dan reboisasi seluas 32,5 juta hektar, Indonesia akan mampu menyerap 5,5 gigaton CO2 dan paling tidak separuhnya memenuhi syarat dijadikan proyek CDM. Konon Indonesia berpotensi menyerap dana sekurang-kurangnya 500 juta dollar AS dari kegiatan proyek CDM tersebut.

Selain CDM, mekanisme fleksibel dalam rangka mencegah dan mengurangi emisi karbon dunia adalah melalui kegiatan joint implementation (JI) dan emission trading (ET) yang juga dapat menarik aliran dana negara industri untuk berpartisipasi. Indonesia sendiri sedang mengincar dana CDM 370 juta dollar AS tahun 2007 (Kompas, 13/9).

Sayangnya, sampai dengan Maret 2005 negara industri besar Amerika Serikat bahkan belum berkehendak meratifikasi Protokol Kyoto, diikuti Australia, Turki, dan Monako. Maka meskipun masih sulit berharap, paling tidak dalam pertemuan APEC baru-baru ini Amerika Serikat dan Australia telah tergerak menyumbangkan "uang kecilnya" untuk membantu penyelamatan hutan Indonesia.

COP Ke-13 di Bali

Kesadaran dunia akan perlunya kolaborasi menghadapi peningkatan emisi karbon diwujudkan dalam Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP Ke-13 UNFCCC) tanggal 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali. Indonesia akan menampilkan upaya perbaikan hutan yang telah dilakukan di lahan Perum Perhutani di Banyuwangi. Dalam berbagai agenda acara yang akan digelar di antara sepuluh ribuan peserta dari 189 negara tersebut adalah sah apabila Indonesia dan negara berkembang juga menuntut negara maju untuk mengendurkan fokus tekanannya yang selama ini dilakukan terhadap kegiatan eksploitasi hutan.

Selayaknya negara maju lebih memahami potensi dirinya sebagai penyumbang utama rusaknya iklim dunia, dan meningkatkan bantuannya bagi pengembangan penghijauan hutan dan lahan. Kerusakan hutan jangan semakin dibebani dengan ancaman terhambatnya ekspor perdagangan hasil-hasil hutan yang akan berakibat semakin menurunnya kemampuan ekonomi negara berkembang untuk memperbaiki hutannya.

Sumber : www.kompas.com

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
by : BTF

Arsip

Ucapan Terima Kasih

Kehadiran LMDH Sumber Makmur Desa Sumberanyar sebagai lembaga yang mengakar di masyarakat dan mengambil peran sebagai mitra Perum Perhutani dalam melaksanakan program PHBM di desa se wilayah kerja RPH Sumberejo, selama kurang lebih 4 tahun terakhir telah melaksanakan kegiatan konkret dan sedikit banyak telah memberikan kontribusi nyata terhadap kelangsungan pelestarian hutan dan peningkatan kwalitas hidup masyarakat desa. Karenanya kami tak bosan-bosannya mengucapkan puji syukur alhamdulillah, atas segala bentuk pertolongan-Nya kepada kami, sehingga walaupun dengan multi keterbatasan yang kami miliki, kami masih tetap eksis melaksanakan kegiatan yang sudah terncana. Selanjutnya, kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada seluruh jajaran pejabat Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara yang sejak awal pendirian LMDH Sumber Makmur sampai sekarang tak henti-hentinya memberikan dukungan moral, pendampingan, dan pembinaan yang sangat intensif kepada kami, sehingga kami mampu melakukan dinamisasi kegiatan kelembagaan seperti sekarang ini. Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada : Bapak Ir. Sriyono (Mantan ADM Perum Perhutani KPH Banyuwangi Utara) Bapak Asep Syaifuddin, S.Hut.(Ketua Tim Sukses PHBM KPH Banyuwangi Utara) Bapak Kelik, S.Hut. (Kasi PSDH KPH Banyuwangi Utara) Bapak Agus (Kaur Tanaman KPH Banyuwangi Utara) Bapak Ir. Ririt SB (mantan KSS PHBM tahun 2007) Bapak Misadi (KSS PHBM) beserta seluruh staf Bapak Nurhasan (Mantan Humas KPH Banyuwangi Utara) Bapak Koesman (Asper BKPH Asembagus) Bapak Kadir (Mantan KRPH Sumberejo) Dan seluruh pejabat lainnya yang namanya tak tidak dapat kami sebutkan di sini

Buku Tamu



Jadwal Shalat

 

Peta Kecamatan Banyuputih