Menjelang diselenggarakannya Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change, 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali, kampanye berita kerusakan hutan terus meningkat. Rusaknya hutan diklaim seakan sebagai penyebab utama pemanasan global. Selalu diberitakan kebakaran hutan dan gambut yang ikut meningkatkan tinggi muka laut akibat naiknya suhu udara dan melelehnya es di Green- land dan Antartika.
Yang muncul justru sikap negara maju yang terus menyalahkan negara berkembang, khususnya
Bila dicermati, penyebab utama terjadinya kejenuhan emisi karbon itu ternyata ada empat. Satu, kelistrikan yang menyumbang 42 persen; dua, transportasi menyumbang 24 persen; tiga, industri menyumbang sebesar 20 persen; dan sisanya empat, kependudukan serta penggunaan barang-barang komersial menyumbang 14 persen bagi emisi global. Hutan yang rusak sekalipun bukan penyebab utama emisi karbon.
Kerusakan hutan Indonesia
Permasalahannya, sebagian terbesar hutan dunia kini dinilai telah rusak. Meskipun negara maju di Eropa dan Amerika Serikat sebagai pengemisi karbon terbesar dunia justru telah lama kehilangan hutannya, mata dunia hanya tertuju kepada hutan negara berkembang yang dijadikan tumpuan menyerap karbon buangan negara maju. Kerusakan hutan di negara berkembang, termasuk
Harus diakui bahwa
Dari hasil pengamatan citra landsat tahun 2000 diketahui bahwa deforestasi periode 1997-2000 mencapai rata-rata 2,83 juta hektar per tahun untuk
Perkembangan tutupan hutan khususnya di Pulau Jawa, baik di kawasan hutan negara maupun yang dilakukan rakyat di tanah milik, justru menggembirakan. Dari kawasan hutan seluas 2,426 juta hektar Pulau Jawa-Madura yang dikuasakan kepada Perum Perhutani, antara tahun 2000 dan tahun 2003 terjadi peningkatan luas tutupan hutannya.
Di kawasan hutan terjadi peningkatan tutupan hutan sebesar 2,2 persen atau seluas 69.520 hektar. Peningkatan itu di antaranya di kawasan hutan lindung meningkat 0,5 persen dan di hutan produksi sebesar 1,6 persen. Di lahan masyarakat terjadi peningkatan luas lahan berhutan sebesar 3,2 persen atau seluas 328.806 hektar. Hal ini menunjukkan perkembangan hutan rakyat yang cukup pesat selama kurun waktu tersebut.
Pencanganan Perhutani Hijau 2010 oleh Perum Perhutani pun berdampak besar. Dengan hanya menebang tidak lebih dari 6.000 hektar, Perum Perhutani menanam sekitar 121.000 hektar pada tahun 2006 dan pada tahun 2007 akan dilakukan penanaman seluas 201.500 hektar. Sebelum tahun 2010, kawasan hutan Jawa yang dikelola Perum Perhutani akan bebas tanah kosong.
Kenaikan suhu udara
Emisi karbon sampai dengan tahun 2000-an yang meningkat menjadi sekitar 6,5 miliar ton hanya dalam waktu setengah abad menyebabkan kenaikan suhu rata-rata dunia sekitar 0,13 derajat Celsius setiap dekade. Akibat lain dari perubahan iklim adalah terjadinya pencairan es di kutub yang menciutkan lautan es Artik seluas 2,7 persen per dekade, meningkatnya tinggi muka air laut 0,5 milimeter per tahun, dan badai yang sering kali kita rasakan.
Negara maju, khususnya Amerika Serikat, telah menyumbang 24 persen emisi global, diikuti China 14 persen, Rusia 6 persen, dan negara industri raksasa Jepang serta India menyumbang 5 persen. Meskipun tiga perempat (75 persen) dari emisi karbon disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil, deforestasi hutan terutama disebabkan oleh penebangan yang berlebihan, kebakaran hutan, dan perubahan fungsi lahan hutan tetap dianggap memperparah terjadinya emisi karbon dunia.
Protokol Kyoto yang dilahirkan tahun 1997 menyepakati adanya enam senyawa GRK telah diratifikasi
Negara maju penghasil emisi karbon terbesar berkewajiban memberikan kompensasi atas upaya penyelamatan hutan di negara berkembang dengan mekanisme pola clean development mechanism (CDM).
Indonesia sendiri sebagai negara kelima terbesar yang berpotensi melakukan 10 persen suplai carbon credit dunia diperkirakan memiliki potensi CDM di sektor energi sebesar 25 juta ton CO2 dengan harga 1,83 dollar AS per ton. Adapun dari kegiatan penghijauan dan reboisasi seluas 32,5 juta hektar, Indonesia akan mampu menyerap 5,5 gigaton CO2 dan paling tidak separuhnya memenuhi syarat dijadikan proyek CDM. Konon
Selain CDM, mekanisme fleksibel dalam rangka mencegah dan mengurangi emisi karbon dunia adalah melalui kegiatan joint implementation (JI) dan emission trading (ET) yang juga dapat menarik aliran dana negara industri untuk berpartisipasi.
Sayangnya, sampai dengan Maret 2005 negara industri besar Amerika Serikat bahkan belum berkehendak meratifikasi Protokol Kyoto, diikuti Australia, Turki, dan Monako. Maka meskipun masih sulit berharap, paling tidak dalam pertemuan APEC baru-baru ini Amerika Serikat dan Australia telah tergerak menyumbangkan "uang kecilnya" untuk membantu penyelamatan hutan Indonesia.
COP Ke-13 di Bali
Kesadaran dunia akan perlunya kolaborasi menghadapi peningkatan emisi karbon diwujudkan dalam Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (COP Ke-13 UNFCCC) tanggal 3-14 Desember 2007 di Denpasar, Bali.
Selayaknya negara maju lebih memahami potensi dirinya sebagai penyumbang utama rusaknya iklim dunia, dan meningkatkan bantuannya bagi pengembangan penghijauan hutan dan lahan. Kerusakan hutan jangan semakin dibebani dengan ancaman terhambatnya ekspor perdagangan hasil-hasil hutan yang akan berakibat semakin menurunnya kemampuan ekonomi negara berkembang untuk memperbaiki hutannya.
Sumber : www.kompas.com